ARIMANA ASAL SIMBOL BULAN SABIT & BINTANG DALAM ISLAM?
Gambar Bulan Sabit dan kadang disertai Bintang di atasnya sering kali muncul pada situs atau gambar atau kejadian yang berkaitan dengan kegiatan umat islam. Dari manakah simbol bulan bintang ini berasal. Apakah Rasulullah menggunakannya di masa lalu? Bolehkah kita, sebagai umat islam menggunakannya sekarang?
SEJARAH SAMAR BULAN SABIT
Sebenarnya, tidak banyak informasi yang menunjukkan asal muasal simbol bulan sabit dan bintang ini dalam islam. Tidak ada hadits atau riwayat para shahabat dan kaum tabi’in yang menyatakan adanya penggunaan simbol ini di masa awal islam. Jika ada riwayat penggunaan bendera atau panji-panji, itu terjadi di saat kaum muslimin melakukan peperangan. Dan hal semacam itu merupakan kebiasaan sebuah pasukan perang, baik di masa lalu maupun sekarang.
Panji atau bendera kaum muslimin sendiri tidak memiliki standar atau warna tertentu yang ditetapkan berdasarkan perintah Allah atau Nabi Muhammad. Ada yang mengabarkan warnanya hitam, hijau atau putih. Ada yang menyatakan itu polos saja atau bertuliskan kalimat Tauhid: laa ilaaha illaallaah, muhammadar rasuulullaah. Yang jelas tidak ada gambar bulan bintang.
Menurut catatan sejarah, simbol bulan bintang baru muncul dan dipakai kaum muslimin di masa pemerintahan Kekhalifahan Utsmaniyah di Turki. Ketika mereka berhasil menguasai Konstantinopel, kota Istambul sekarang, pada tahun 1453, mereka mengadopsi lambang kota itu sebagai panji pasukan Utsmaniyah. Legenda menyebutkan bahwa Sultan Utsman, penguasa saat itu, bermimpi melihat 2 ujung bulan sabit membentang dari ujung bumi yang satu hingga ujung lainnya. Hal itu diartikan sebagai pertanda kebaikan dan kejayaan sehingga ia memilih untuk mengadopsi lambang kota yang ditaklukkannya sebagai simbol Dinasti Utsmaniyah yang dibangunnya.
Saat itu, hanya ada bulan sabit emas dalam bendera tersebut. Seiring dengan waktu, bintang terkadang muncul dalam bendera baru mereka. Dan ketika kejatuhan Kekhilafahan terjadi, bendera terakhir mereka adalah bulan sabit dan bintang berwarna putih.
Ratusan tahun lamanya Kekhilafahan Turki Utsmaniyah mengayomi kaum muslimin dan sering terlibat pertempuran dengan pihak Kristen Eropa. Alhasil, terpatrilah dalam benak setiap orang di dunia bahwa simbol bulan sabit dan bintang merupakan simbol kaum muslimin.
Apalagi jika dikaitkan dengan kalender islam yang berbasis peredaran bulan, maka simbol itu semakin terasa pas untuk kaum muslimin. Setiap bulan, kaum muslimin akan mencoba menentukan kapan bulan sabit atau hilal bisa dilihat yang menandai masuknya bulan baru.
HUKUM MENGGUNAKAN LAMBANG BULAN BINTANG
Sebagian kaum muslimin melihat bahwa bulan bintang tidak dicontohkan penggunaannya oleh Rasulullah, dan karenanya menolak lambang ini. Sebagian yang lain melihat bahwa secara umum tidak masalah karena memang pada kenyataannya orang sudah mengasosiasikan lambang bulan sabit dengan kaum muslimin.
Yang utama bagi kita, kaum muslimin adalah bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak meminta kita untuk menjadikan simbol apapun untuk diagung-agungkan, dikeramatkan. Bahkan Islam sangat menentang kemusyrikan yang bisa bermula dari pengkultusan, pengidolaan, atau penghormatan berlebihan terhadap suatu hal.
Bulan Sabit dan Bintang Lambang Islam?
Assmualaikum warahmatullah hiwabarokatuh
ustadz,bagaimana hukum yg terletak di atas masjid yaitu bulan dan bintang maksudnya apa serta tlong JELASKAN?!!
Syukron
ustadz,bagaimana hukum yg terletak di atas masjid yaitu bulan dan bintang maksudnya apa serta tlong JELASKAN?!!
Syukron
Dari Agung
Jawaban:
Wa alaikumus salam warahmatullah wabarokatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Sesuatu bisa disebut syiar agama ketika dia bersumber dari agama. Dan kita tidak boleh menjadikan sesuatu sebagai syiar islam, sementara itu bukan bagian dari agama. Contoh syiar agama adalah adzan, takbiran, shalat jumat, shalat id, haji, dst. Ibadah-ibadah yang sifatnya zahir, yang disaksikan banyak orang, menjadi syiar, karena ibadah semacam ini menjadi tanda bahwa islam eksis di wilayah tersebut. (Tafsir Ibnu Utsaimin, al-Baqarah: ayat 198).
Menjadika bulan bintang lambang dari islam, berarti meyakini bahwa lambang semacam ini sebagai syiar islam. Apakah ini dibenarkan? Berikut beberapa keterangan para ulama tentang fenomena bulan bintang,
Pertama, terdapat sebuah riwayat dari Ibnu Yunus bahwa ada seorang sahabat bernama Abul Kanud, Sa’d bin Malik al-Azdi, beliau pernah bertamu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasangkan sebuah bendera untuk dia bawa kepada kaumnnya. Bendera itu berwarna hitam, bergambar bulan sabit putih. (al-Ishabah, 3/72)
Sanad kisah ini, sebagaimana keterangan Ibnu Yunus, sebagai berikut,
رواه سعيد بن عفير عن عمرو بن زهير بن أسمر بن أبي الكنود أن أبا الكنود وفد فذكره
Said bin Ufair meriwayatkan dari Amr bin Zuhair bin Asmar bin Abul Kanud, bahwa Abul Kanud pernah bertamu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diberi bendera itu.
Status Riwayat
Dalam Fatwa Islam (no. 144180) dijelaskan bahwa riwayat ini dhaif. Karena beberapa alasan
- Amr bin Zuhair majhul, tidak dikenal
- Said bin Ufair yang meriwayatkan kisah ini dari Amr bin Zuhair, bukan tabi’ tabi’in. Namun generasi setelah itu. Al-Hafidz memasukkannya pada generasi kesepuluh (at-Tabahqah al-Asyirah), generasi sezaman dengan Imam Ahmad. (Taqrib at-Tahdzib, 1/362) Sehingga sanad riwayat ini terputus antara Said dengan Amr bin Zuhair.
- Jika Amr bin Zuhair adalah guru Said bin Ufair, berarti Amr bin Zuhair bukan tabi’in. Artinya, dia tidak menjumpai kakek buyutnya, Abul Kanud, yang merupakan sahabat.
Mengingat sanadnya tidak bersambung dua kali, hadis ini digolongkan hadis mu’dhal, dan itu termasuk hadis dhaif, yang tidak bisa jadi dalil.
Kedua, beberapa ulama menegaskan bahwa lambang bulan sabit bintang, tidak pernah dikenal di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun sahabat. Bahkan belum dikenal di zaman daulah Umawiyah. Ada yang mengatakan, pertama kali muncul di zaman daulah Utsmani (sekitar abad ke-13 M).
Dalam at-Taratib al-Idariyah dinukil keterangan Syihab al-Mirjani, dalam kitabnya Wafayat al-Aslaf,
وضع رسم صورة الهلال على رءوس منارات المساجد بدعة ، وإنما يتداول ملوك الدولة العثمانية رسم الهلال علامة رسمية أخذا من القياصرة ، وأصله أن فيلبس المقدوني والد الإسكندر الأكبر لما هجم بعسكره على بيزنطة ، وهي القسطنطينية ، في بعض الليالي دافعه أهلها وغلبوا عليه وطردوه عن البلد ، وصادف ذلك وقت السحر ، فتفاءلوا به واتخذوا رسم الهلال في علمهم الرسمي تذكيرا للحادثة ، وورث ذلك منهم القياصرة ، ثم العثمانية لما غلبوا عليها ، ثم حدث ذلك في بلاد قازان
Meletakkan gambar bulan sabit di atas menara-menara masjid, termasuk bid’ah (sesuatu yang baru). Para penguasa Daulah Utsmani menggunakan lambang ini sebagai lambang resmi, meniru lambang istana di romawi. Kejadian awal mulanya, bahwa Paulus al-Maqduni ayah dari Iskandar Akbar pernah menyerang konstatinopel bersama pasukannya. Di beberapa malam penyerangan, mereka berhasil mengalahkan penduduk negeri itu, dan mengusir mereka. Kejadian itu bertepatan dengan waktu sahur. Lalu mereka merasa optimis dengan waktu itu, dan menjadikan gambar hilal (bulan sabit) sebagai lambang resmi mereka, untuk mengingat peristiwa itu. Lambang inipun dipakai di berbagai istanah, kemudian ditiru bani Utsmaniyah, ketika mereka berhasil mengalahkannya. Kemudian lambang itu masuk ke negeri Qazan. (at-Taratib al-Idariyah, al-Kittani, 1/265).
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,
وضع الأهلة على المنائر قيل : إن بعض المسلمين الذين قلدوا غيرهم فيما يصنعونه على معابدهم ، وضعوا الهلال بإزاء وضع النصارى الصليب على معابدهم ، كما سموا دور الإسعافات للمرضى ( الهلال الأحمر ) بإزاء تسمية النصارى لها بـ ( الصليب الأحمر ) وعلى هذا فلا ينبغي وضع الأهلة على رؤوس المنارات من أجل هذه الشبهة ، ومن أجل ما فيها من إضاعة المال والوقت ” انتهى
Tentang memasang gambar hilal di menara-menara, ada yang mengatakan, bahwa sebagian kaum musliminlah yang meniru umat yang lain, yang mereka lakukan terhadap tempat-tempat ibadah mereka. Mereka meletakkan lambang bulan sabit, untuk menandingi orang nasrani yang memasang lambang salib di tempat-tempat ibadah mereka. Sebagaimana yang terjadi pada yayasan pertolongan pertama bagi orang sakit dengan sebutan bulan sabit merah, untuk menyaingi milik orang nasrani, palang merah. Karena itu, tidak selayaknya lambang ini diletakkan di menara-menara masjid, mengingat adanya kemiripan (dengan orang nasrani), dan mengingat ini buang-buang harta dan waktu. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 13/941).
Ketiga, berdasarkan tinjauan sejarah dari keterangan para ulama di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa bulan sabit maupun bintang bukan bagian dari syiar islam. Untuk itu, kita tidak boleh menjadikanya sebagai syiar islam, apalagi meyakini bahwa dengan memasang lambang itu akan mendapatkan pahala.
Dalam Fatwa Islam (no. 1528) dinyatakan,
وعلى كلٍّ فالشعارات والرايات لابد وأن تكون موافقة للشرع وحيث أنه ليس هناك دليل على مشروعيتها فالأحرى ترك ذلك ، وليس الهلال ولا النجمة شعاراً للمسلمين ، ولو اتخذه بعض المسلمين ، وأما من جهة – ما يعتقده المسلمون في القمر والنجوم فإنهم يعتقدون أنها من خلق الله عز وجل لا تنفع ولا تضر ولا تؤثر بذاتها في الأحداث الأرضية ، وإنما خلقها الله لفوائد البشر ، ومن ذلك قول الله عز وجل : يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ..
Kesimpulannya, bahwa setiap syiar dan lambang, harus sesuai syariat, dimana ketika di sana tidak dalil yang menunjukkan anjuran hal itu, maka yang lebih tepat adalah meniggalkannya. Bulan sabit dan bintang bukan syiar kaum muslimin, meskipun sebagian kaum muslimin menjadikannya syiar. Adapun dari sisi keyakinan kaum muslimin terhadap bulan dan bintang, mereka meyakini bahwa dua benda itu ciptaan Allah, tidak bisa mengatur taqdir baik maupun buruk, dan tidak bisa memberikan pengaruh dengan sendirinya terhadap kejadian yang ada di bumi. Allah menciptakannya agar diambil manfaatnya bagi manusia. Diantaranya (sebagai acuan kalender), seperti yang Allah firmankan (yang artinya), “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Jawablah, itu acuan waktu bagi setaip manusia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar